Satu minggu telah berlalu, tas merah itu tetap membisu tak berubah posisinya sedikitpun. Debu mulai betah singgah di permukaan tas berbahan kulit kerbau itu. Tak seorang pun berani menyentuhnya apalagi membukanya. Bahkan, bangku baris ketiga tempat tas itu berada dibiarkan kosong, tak satu pun siswa kelas XII IPS 2 yang berani mendatanginya. Seisi kelas hanya bisa bertanya-tanya di dalam hati, kemana gerangan si pemilik tas itu. Padahal selama ini, tak pernah sedetik pun tas itu lepas dari tuannya dan tak pernah seorang pun diizinkan menyentuh apalagi melihat isi tas itu.
Semua orang di dalam kelas itu mendelik kaget bila melihat tas itu. Sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa ia seorang dimana sebuah tawa riang berasal. Selalu berseri tanpa sedu. Teman sebangkunya pergi dari meja dimana tas itu disimpan. Ia takut karena ia selalu dikelilingi kalimat-kalimat yang selalu mengitari di memori otaknya dan tak pernah ia ucapkan. Sebuah misteri baginya karena telah seminggu berlalu dan teman sebangkunya yang selalu membuat ia kesal karena si pemilik tas merah itu selalu ia anggap bodoh dan selalu tertawa. Menertawakan dirinya sendiri. Blida, sang pemilik tas merah itu.
“Kamu sama sekali tidak tahu?” tanya Wali Kelas XII IPS 2 saat ia pergi ke ruang guru untuk mengumpulkan tugas.
Seora, teman sebangku si pemilik tas merah itu hanya menggeleng lemah tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia lalu pamit kembali ke kelas dengan tergesa-gesa seperti dikejar maut. Sampai di kelas, Seora menatap tajam tas itu saat kelas kosong. Semua siswa sudah pulang sejak tadi siang. Ia dalam keheningan sore dimana tiada seorang pun di lantai atas kelas XII. Hanya sebuah tas merah yang terlihat sudah mulai usang karena ia benci dengan si pemilik tas itu yang selalu menertawai dirinya sendiri dengan bergelimang air mata.
“Siapa kamu, Blida?” Seora menggerutu dalam tegaknya ia berdiri di depan tas merah itu. Tas merah itu seakan berbicara dan Seora pun menangis dalam mata elangnya.
“Aku tidak tahu apa yang kamu rasakan dan kamu dengan seenaknya masuk ke dalam mimpi-mimpiku dengan murka!”
Angin bertiup kencang dan matahari pun mulai tenggelam.
“Hina saja diriku, Blida! Toh, kamu tetap saja di bawahku,” Seora mundur perlahan sampai jarak satu meter dari tas merah itu.
Lampu padam dan hidup kembali.
“Kamu tidak akan bisa menakut-nakutiku,” Seora tersenyum licik.
Angin kembali bertiup seperti irama lagu persaingan. Gerimis kencang membuat bibir Seora bergetar.
“Sekali lagi aku katakan padamu bahwa aku tidak salah. Kamulah yang bodoh, memendam perasaanmu sendiri di dalam hatimu. Dan kamu sekarang ingin mencoba menggertakku dengan tas yang kuberikan saat ulang tahunmu? Gila. Sekarang kamu kemana? Migrasi? Atau kamu sudah mati?” Seora tertawa bergetar, “sungguh menggemaskan hidupmu itu.”
Gerimis mulai berganti hujan. Tidak cukup chaya untuk menggambarkan wajah Seora. Ia keluar dari kelas meninggalkan tas itu dengan mata tajam penuh pisau. Menyayat.
*
Keadaan kelas berjalan seperti biasa. Seperti biasa masuk kelas dan mata langsung tertuju pada tas merah yang sudah berganti warna agak kehitaman. Agak beda dan benar-benar berbeda. Keadaan tas gendong berwarna merah itu dalam keadaan resleting terbuka. Semua siswa mengelilinginya tanpa gerakan sama sekali. Terlihat disana sebuah buku tulis biasa dan mata Seora serasa terpaku di dalam buku tulis yang familiar tersebut di matanya dan ingatan memorinya. Seora mengambil buku tulis itu tanpa pikir panjang dan tanpa menghiraukan pandangan mata teman-temannya yang tertuju kepadanya.
Seora membuka lembar pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Ia baru menyadari bahwa buku itu milik mereka berdua saat kelas sepuluh. Buku curhat mereka dan terlihat jelas perbedaan jumlah tulisan Seoran dengan tulisan Blida. Terhitung lebih banyak tulisan Seora sedangkan Blida hanya mengungkapkan ekspresi wajah dengan gambar yang Blida buat. Seora diam dan diam. Teman-temannya tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.
Seora membuka halaman terakhir yang terlihat usang dan ia terkejut setelah melihat tanggal yang tercantum, yaitu tanggal kemarin saat ia berbicara dengan tas merah yang sekarang terlihat kehitaman itu. Dan disana tertulis:
‘Aku kembalikan tas ini. Tas yang sebenarnya berwarna hitam ini. Aku tidak kuat memiliki tas pemberianmu. Dan ya, aku mati dengan menggemaskan. Aku tidak tahan menertawai diriku sendiri yang hanya bisa mendengarmu mengoceh tanpa kenal hatiku. Seora, kamu memang hebat dan kamu benar-benar hebat bisa menyakiti orang yang sudah kamu anggap sahabat saat kelas sepuluh dan kamu menelantarkanku, padahal kamu tahu aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Seora, bisa-bisanya kamu berbicara seperti kemarin saat aku sudah tiada. Seora, aku membencimu. Itu yang ingin kukatakan.’
Seora diam. Seakan ia diguncang gempa. Hatinya terguncang lebih dahsyat. Dan sepertinya, hati Blida lah yang diguncang hebat oleh Seora.
*
© 2008 Aulia Vidyarini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar