Aku menginginkan hujan sebagaimana kamu bersorak untuk matahari tetap bersinar Aku berdoa disaat hujan sebagaimana kamu mabuk hingga basah kuyup di trotoar Aku bergelinjang geli di bawah hujan sebagaimana kamu tertawa di atas api unggun Aku menampung air hujan sebagaimana kamu membanjur rumah dengan minyak tanah Aku terpejam kehujanan sebagaimana kamu tidur berkeringat Aku menelan air hujan sebagaimana kamu menelan ludahmu sendiri Aku menyukai hujan sebagaimana kamu bertahan membenci hujan Aku menatap hujan sebagaimana kamu mengerti diriku Aku berbinar atas hujan sebagaimana kamu mematikan rokokmu di atas bumi yang kehujanan Aku terkejut melihat petir diantara hujan sebagaimana kamu muncul di hidupku

Jumat, 14 Februari 2014

14-2-14

Dung, dung, dan meletus. Terbangun dari sebuah istilah tidak kunjung tidur. Menilik di balik jendela persegi panjang yang berdiri, mengajak raga membuka gerai pagi—dung, dung, dan meletus—kemudian kepulan abu menghantam wajah yang mulai dialiri sungai. Sepi, senyap, hanya itu yang menghampiri gendang telinga. Menafsirkan keraguan pada hari esok.

Semua lari, semua takkan terpejam, semua tahu tentang jarak pandang yang semakin menipis. Lalu mengikis kesantunan dalam menyapa Tuhan. Begitukah kalau sudah menua?

Barisan berita empati mengalir dalam ruang sosial. Terduduk manis, terbatuk tangis. Sungai mengalir deras dalam perkelahian sifat raksasa dunia sementara. Beberapa berpikiran elok, dan beberapa lainnya berurat belok.

Begitukah kalau sudah menua?

Begitukah kalau sudah menua? Sungai kebebasan dicemari abu raksasa. Meledak. Kepala-kepala mereka hancur. Bertebaran di samping-samping sungai, bergumul dengan angin dengki.

Begitukah kalau ada gunung beruban di masa muda? Sungainya bau amis.