Aku menginginkan hujan sebagaimana kamu bersorak untuk matahari tetap bersinar Aku berdoa disaat hujan sebagaimana kamu mabuk hingga basah kuyup di trotoar Aku bergelinjang geli di bawah hujan sebagaimana kamu tertawa di atas api unggun Aku menampung air hujan sebagaimana kamu membanjur rumah dengan minyak tanah Aku terpejam kehujanan sebagaimana kamu tidur berkeringat Aku menelan air hujan sebagaimana kamu menelan ludahmu sendiri Aku menyukai hujan sebagaimana kamu bertahan membenci hujan Aku menatap hujan sebagaimana kamu mengerti diriku Aku berbinar atas hujan sebagaimana kamu mematikan rokokmu di atas bumi yang kehujanan Aku terkejut melihat petir diantara hujan sebagaimana kamu muncul di hidupku

Senin, 24 November 2014

Cerpenyet (Cerita pendek banget ny*t): "Bingung Sendiri."

Aku memiliki sebuah cerita. Ini bukan sesuatu yang direncanakan alurnya, tiada konsep atau bagaimana ending-nya. Hanya aliran darah saja yang kupunya.

Cerita ini tentang sebuah kertas origami yang ditinggalkan oleh sang pelipatnya, sehingga ia tampak datar dan selalu begitu.

Suatu ketika, kertas berwarna itu senang mewarnai dirinya sendiri dengan cat hitam, yang dulu dibeli oleh sang pelipat dengan tanpa dipakainya. Entah mengapa, ia tak tampak heran dengan dirinya yang tiba-tiba menjadi bertangan.

Hitam tubuhnya, habis ia tumpahi, lumuri, dan basah semuanya.

Seharusnya ia tahu, sang pelipat membeli itu untuk mewarna yang lain. Tapi mengapa si kertas bertindak bodoh sendirian?

Ketika kubertanya seperti itu, si kertas hanya menghardikku dengan ucapan, “Siapa kamu, hah?”

Aku pun bingung aku ini siapa tiba-tiba bertanya kepadanya.

Ya sudah, aku pun jadi bingung sendirian.





Copyright 2011 Aulia Vidyarini

Senin, 01 September 2014

56/23

Awalnya adalah benih
hingga tak sanggup merengkuh nyawa kembali, itu pedih, sangat perih
Gegap suara mengheningkan cipta di bendera berkibar tiap Senin, baru dirasa lirih
Tawa adalah peringatan, petir memperingati gemuruh hujan gelap
Baru dirasa, ya, baru basah
wajah ini tak kunjung mengering, aliran deras sanubari bebatuannya keropos
belum sempat aku selesai menggunting kuku kotor agar lambaian tangan suci,
kau
tak kunjung bernyanyi ketika kupetikkan gitar di rumahmu

I am Hoream.


*Note
Hoream (Sundanese): lazy.

Jumat, 14 Februari 2014

14-2-14

Dung, dung, dan meletus. Terbangun dari sebuah istilah tidak kunjung tidur. Menilik di balik jendela persegi panjang yang berdiri, mengajak raga membuka gerai pagi—dung, dung, dan meletus—kemudian kepulan abu menghantam wajah yang mulai dialiri sungai. Sepi, senyap, hanya itu yang menghampiri gendang telinga. Menafsirkan keraguan pada hari esok.

Semua lari, semua takkan terpejam, semua tahu tentang jarak pandang yang semakin menipis. Lalu mengikis kesantunan dalam menyapa Tuhan. Begitukah kalau sudah menua?

Barisan berita empati mengalir dalam ruang sosial. Terduduk manis, terbatuk tangis. Sungai mengalir deras dalam perkelahian sifat raksasa dunia sementara. Beberapa berpikiran elok, dan beberapa lainnya berurat belok.

Begitukah kalau sudah menua?

Begitukah kalau sudah menua? Sungai kebebasan dicemari abu raksasa. Meledak. Kepala-kepala mereka hancur. Bertebaran di samping-samping sungai, bergumul dengan angin dengki.

Begitukah kalau ada gunung beruban di masa muda? Sungainya bau amis.

Minggu, 19 Januari 2014

Sampul Album #2 Dead Japra



Kemarin aku membuat ini untuk Dead Japra sebagai sampul album keduanya berjudul 'Ruh'.
Di antaranya ada beberapa lagu yang berjudul Feeling Blue, Merah Rockhead, dan Kita Adalah Pelupa.
Katanya sih album ini didedikasikan untuk Avoolcool (saudara Harap) yang telah pergi menghadap Tuhan.
Entah untuk kapan. Kita tunggu saja :')

*