Aku menginginkan hujan sebagaimana kamu bersorak untuk matahari tetap bersinar Aku berdoa disaat hujan sebagaimana kamu mabuk hingga basah kuyup di trotoar Aku bergelinjang geli di bawah hujan sebagaimana kamu tertawa di atas api unggun Aku menampung air hujan sebagaimana kamu membanjur rumah dengan minyak tanah Aku terpejam kehujanan sebagaimana kamu tidur berkeringat Aku menelan air hujan sebagaimana kamu menelan ludahmu sendiri Aku menyukai hujan sebagaimana kamu bertahan membenci hujan Aku menatap hujan sebagaimana kamu mengerti diriku Aku berbinar atas hujan sebagaimana kamu mematikan rokokmu di atas bumi yang kehujanan Aku terkejut melihat petir diantara hujan sebagaimana kamu muncul di hidupku

Selasa, 08 Oktober 2013

Kumpulan Jalan No.1

JALAN-JALAN SATU

Ketika angin terlalu kencang menghembus kening, tidak begitu mempengaruhi kecepatan ingatan yang akan hilang pula. Kau, tetap disini. Di dalam keningku. Begitu pun hidupku, tetap disini, di dalam hidupmu.

Semenjak keterbatasan hari yang kauberikan, aku menjadi semena-mena pada sebuah penantian masa. Musim kemarau kupayungi, musim hujan kubiarkan membasahi tubuhku. Agar ingatanku tentangmu tak habis dibakar panas, dan tetap segar kumandikan.

Sehingga kau, tetap tumbuh, hingga membawaku, ke atas langit, sana.

Aku sedang berjalan dari trotoar satu ke trotoar lainnya, mengingat kau pernah mencium aspal dengan sendunya, kau tak pernah menginjaknya. Kau membelainya dengan telapak kakimu.

Kau mengajarkanku untuk, satu: mematikan puntung rokok menyala yang kaubuang di tanah terbawah. Lebih baik bibirmu yang terbakar, daripada tanah membakar semua yang tak bersalah (April 2012)


Aulia.