Aku menginginkan hujan sebagaimana kamu bersorak untuk matahari tetap bersinar Aku berdoa disaat hujan sebagaimana kamu mabuk hingga basah kuyup di trotoar Aku bergelinjang geli di bawah hujan sebagaimana kamu tertawa di atas api unggun Aku menampung air hujan sebagaimana kamu membanjur rumah dengan minyak tanah Aku terpejam kehujanan sebagaimana kamu tidur berkeringat Aku menelan air hujan sebagaimana kamu menelan ludahmu sendiri Aku menyukai hujan sebagaimana kamu bertahan membenci hujan Aku menatap hujan sebagaimana kamu mengerti diriku Aku berbinar atas hujan sebagaimana kamu mematikan rokokmu di atas bumi yang kehujanan Aku terkejut melihat petir diantara hujan sebagaimana kamu muncul di hidupku

Minggu, 19 Agustus 2012

Keluarga.

Pada awalnya manusia adalah sama. Dalam konteks keluarga, pada akhirnya pun akan sama. Lahir, menangis, menyusu, belajar merangkak hingga berjalan, melompat, minum, makan, mengaji (jika dalam agama saya, agama Islam. Buat yang langsung naik alis keluar dari dahi, saya tegaskan saya tidak bicara agama, konteksnya sekarang adalah keluarga. Terima kasih), dlsb.

Proses yang hingga saat ini akan masih diterapkan oleh seorang ibu dan ayah, siapapun yang bisa disebut ibu dan ayah, ibu atau ayah. Kemudian, bagaimana bila bayi itu tidak menangis? Tidak menyusui? Tidak bisa menggunakan kedua kakinya? Minuman tidak sampai kerongkongan? Makan tidak nafsu? Hingga tidak tahu apa yang ia pegang ketika beranjak dewasa.

Kamu tahu bagaimana rasanya goyah tapi tidak ada yang menopang?

Saya pernah. Namun setelah itu saya koreksi. Banyak yang menopang saya, tapi saya tidak tahu, atau tidak mau tahu.

Keluarga adalah hal utama saya dalam hidup ini. Pertemanan yang hingga saya anggap sebagai keluarga. Dan kemudian pria terdekat saya setelah bapak pun merupakan keluarga baru saya. Semua adalah keluarga. Tapi berbeda porsinya.

Seperti harus membagi 8 jam untuk bekerja, 8 jam untuk berdoa/hiburan, 8 jam tidur. Dan saya rindu 8 jam untuk berdoa/beribadah, bukan lagi hiburan.

Berdoa/beribadah dalam ruang lingkup keluarga harus lah sangat membutuhkan ketulusan. Beribadah di luar rumah hanya perlu khusyuk, namun ketika berada di rumah.. semuanya berbeda. Entahlah, itu yang saya rasakan saat ini.

Saya sangat demi Tuhan menyayangi keluarga, baik yang satu darah maupun tidak. Lalu apa pencapaian yang telah saya dapat? Entah. Seharusnya saya sudah menjadi orang yang kuat. Berapa kali saya menikmati mendengarkan curhat teman-teman mengenai apapun, dan alhamdulillah semoga kami bisa mengatasinya. Saya dengan teori padanya, dan ia dengan prakteknya. Karena pada hakikat omong kosongnya, masalah satu di antara kita adalah masalah kita semua. Musuh di antara kita adalah musuh kita semua. Perkataan Cinta dalam film AADC pada akhirnya bullshit kan?

Saya harus mencari kebenaran, bukan pembenaran. Itulah pedoman dari pelajaran hidup yang saya jalani sekarang selama dua bulan terakhir.

Hhhh..

Saya harus menghela nafas dan menyeka apapun yang berjatuhan untuk menuliskan ini. Pembenarannya adalah orang tua saya menginginkan yang terbaik bagi saya, apapun itu terserah saya. Dan kebenarannya adalah, secepat mungkin saya harus berpikir berapa lagi tenaga dan materi yang harus mereka keluarkan untuk ke-terserah-an saya.

Selain berdoa/beribadah, 8 jam lagi saya harus bekerja.

Maka untuk menimbun ke-terserah-an tersebut, saya harus bekerja.

Saya masih kuliah. Sampai saat ini saya masih kuliah. Haram jadah lah dengan apa yang kalian katakan tentang saya, karena demi apapun yang tak terkendali, bumi pasti berputar, dunia sudah berputar, masih bersujud pada penilaian hanya dari satu sudut pandang?

Saya sangat ingin mengakhiri tulisan bangsat ini. Akhir-akhir ini saya sangat pelupa, tapi semoga saja saya tidak lupa akan pertanggung jawaban mengenai akhir dari tulisan ini. Ya, saya harus menemukan solusinya.

Apapun pandangan orang tua terhadap apapun yang tidak tersampaikan, saya harus menghormati. Apapun yang tak tersampaikan dan saya merasakan namun tidak dilaksanakan, itu sepenuhnya bukan urusan saya. Salah siapa yang tak menyampaikan.

Namun, apakah harus mencari kesalahan?

Untungnya saya ingat, yang harus dicari adalah solusi. Bukan kesalahan yang kemudian diperbesarkan. Hahahahahahaha! Demi apa ya, saya ketawa deh baca tulisan ini sebelum saya posting!

Terus, udah dapet solusinya? Belum sih, tapi sudah terbayang saya akan memimpikan apa. Karena demi apapun yang akan datang dan hilang, saya benci rencana.

Tapi saya percaya alasan.

Terus, udah dapet solusinya? Hei, untuk sementara waktu yang kamu bahkan tidak bisa bernafas dalam keadaan terhimpit seperti ini apalagi yang akan kamu inginkan selain merasa lega, hah? Kalau kamu dapat solusi tapi belum merasa lega, akankah kamu jalankan solusi tersebut dalam keadaan terhimpit menjelang mati?

Demi Allah, saya lega. Kamu tahu apa yang saya maksud dari membicarakan keluarga? Perasaan lega.

Ya, itu.

21.15 WIB

Selamat lebaran, selamat merayakan hari kemenangan!

NB:
Saya pernah melihat posting karya orang tentang pemberian selamat kepada teman-temannya dalam rangka hari kemenangan hari raya idul fitri, tapi beliau bicara tentang sebenarnya juga tidak jelas tentang apa yang dimenangkan dalam hari itu. Dan terdengar buruk menurut saya, entah sih, karena itu juga keambiguan penulisan.

Namun seharusnya beliau tahu; satu, bila maksudnya tidak menyepelekan, lebih baik ganti kalimat atau sangat lebih baik tidak perlu diutarakan. Dua, ibarat kata kamu tidak percaya setan itu ada namun kamu pemuja setan. Fool ya, berharap beliau mengoreksi untuk menjadi cool. Semuanya memiliki kesempatan berubah.



Best regards,

Aulia Vidyarini.