Aku menginginkan hujan sebagaimana kamu bersorak untuk matahari tetap bersinar Aku berdoa disaat hujan sebagaimana kamu mabuk hingga basah kuyup di trotoar Aku bergelinjang geli di bawah hujan sebagaimana kamu tertawa di atas api unggun Aku menampung air hujan sebagaimana kamu membanjur rumah dengan minyak tanah Aku terpejam kehujanan sebagaimana kamu tidur berkeringat Aku menelan air hujan sebagaimana kamu menelan ludahmu sendiri Aku menyukai hujan sebagaimana kamu bertahan membenci hujan Aku menatap hujan sebagaimana kamu mengerti diriku Aku berbinar atas hujan sebagaimana kamu mematikan rokokmu di atas bumi yang kehujanan Aku terkejut melihat petir diantara hujan sebagaimana kamu muncul di hidupku

Senin, 15 Juli 2013

Episode: "Tidur Siang"


Siang ini tidak panas. Tidak seperti biasanya. Anginnya semilir menembus jendela yang terbuka lebar. Mungkin karena hari ini hari Sabtu, yang siap-siap akan menyapa kehadiran muda-mudi untuk bertemu di mana pun. Keluarga yang berkumpul di mana pun juga. Hari yang dianggap sebuah perjumpaan untuk menghabiskan waktu hingga Minggu mencium kening, menyadarkan pagi yang cerah. Menyandarkan mata yang lelah.


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
All rights reserved.
2013 © Aulia Vidyarini

Episode: "Makan Malam di Taman Buku"

Makan Malam di Taman Buku
Ada satu taman kecil yang dulu sering dikunjungi oleh Harap. Mungkin di saat umur lima tahun. Harap memberi nama tempat tersebut dengan sebutan Taman Buku. Sebenarnya di sana tidak ada toko peminjaman atau jual beli buku, hanya saja nama Taman Buku tercetus karena kenangannya.

Kali pertama Harap memiliki buku cerita. Buku cerita yang ditemukan. Bukan komik, cergam, maupun novel. Diary. Ya, buku harian milik seseorang yang tertinggal di taman tersebut. Oleh karena itu, Harap ingin mengunjungi tempat itu lagi.

“Kau tidak mengajakku?” Kucil berkacak pinggang mendengar Harap pamit pergi ke sana.

“Kau yakin tidak akan mengacau?”

Kucil mengernyitkan dahi, “He, memangnya kau mau ngapain?”

“Kau protes tapi kau tidak tahu protes akan apa?” Harap memasang wajah datar, sambil memasangkan syal di lehernya. Ini sudah malam.

“Ini sudah malam lho, Har,” Kucil menyalakan rokoknya.

“Kalau sudah malam memangnya harus merokok?” Harap memakai sepatunya. Sepatu baru yang sudah seminggu lalu dibelikan Kucil. Menggantikan rasa bersalah Kucil telah merusakkan sepatu kesayangan Harap.

Kucil melihat rokoknya dalam-dalam, “Ya, nggak sih..” lalu mematikan rokoknya yang masih panjang itu di asbak. “Terus?”

“Ya kalau kau mau ikut, kau yakin pakai celana gemes gitu?” Harap tidak kuat menahan tawanya.

“Hahaha! Memangnya aku menggemaskan ya, Har?” Kucil malu-malu.

Harap sama sekali tidak menjawab pertanyaan polos Kucil, membuat Kucil segera lari ke kamarnya di lantai dua. Ganti baju.

Malam ini terasa dingin. Sudah lama Kucil dan Harap tidak pergi makan bersama di luar rumah. Ya, memang mereka bukan pergi untuk makan malam. Tapi kemungkinan besar mereka akan makan angin malam karena angin lumayan berhembus kencang di sela-sela tubuh mereka dan penjaga malam lainnya.

“Kau tiba-tiba teringat kenangan masa lalu ya, Har?” Kucil terlihat kedinginan. Kepalan jemarinya masuk saku jaket. Jaket hitam pemberian Harap. Jaket hitam Harap pemberian ayahnya.

Harap berhenti berjalan, “Memangnya sebegitu lemahnya ya image-ku dimatamu?”

Kucil menoleh ke arah kirinya lalu kaget menemukan Harap sudah berhenti tiga langkah di belakangnya, “Ah, aku salah bicara ya?”

Harap masih menoleh ke arah berlawanan dari Kucil.

Kucil segera menghampirinya. “Kau tersinggung?”

Harap menoleh polos ke hadapan Kucil, “He? Aku rasa ini tamannya..”

“Demi Dead Japra!!” Kucil melotot sambil berkacak pinggang dengan cepat. Harap bingung. Akhir-akhir ini Harap sering kebingungan dengan tingkah Kucil. Bukan karena Kucil yang sangat membingungkan, melainkan memang Harap yang linglung.

“Hahahaha!” Harap tertawa tiba-tiba. “Oh, Tuhanku..”

“Kenapa, Har?” giliran Kucil yang kebingungan dengan tingkah Harap yang menjadi selalu tiba-tiba. Tiba-tiba melamun. Tiba-tiba diam. Tiba-tiba tertawa. Tiba-tiba Harap menarik tangan Kucil, “Kita cari makan saja yuk!”

“Hah? Lalu tamannya? Bukunya?”

Harap menyeringai geli, “Sepertinya aku benar-benar bermimpi tentang Taman Buku itu.”

“Apa sih, Har? Kau bicara apa sih, Har?” pelan-pelan Kucil melepaskan tangan Harap yang merangkul tangan kanannya.

Harap diam saja. Menunduk.

“Kau kenapa sih, Har? Akhir-akhir ini kau membuatku bingung.”

“Kau keberatan kalau aku membuatmu bingung?” Harap masih menunduk sambil menjentik-jentikkan kuku jarinya.

Kucil tertawa kecil agak bergetar, “Tidak masalah, Harap. Itu sama sekali tidak masalah untukku.”

Harap mendongakkan kepalanya, “Lalu apa masalahmu?”

Kucil dengan cepat memeluk Harap yang lebih pendek darinya. “Aku sedih. Aku sedih melihatmu sekarang selalu kebingungan. Aku sedih. Kau bingung. Lalu aku harus berbuat apa…........”




Makan Malam di Taman Buku (Bagian 2)
Pelayan meletakkan tisu makan di meja.

“Jadi.. ini menjadi Taman Buku kita?”

Kucil menyeruput kopi hitamnya sambil manggut-manggut. Mereka sedang mengopi dan makan es krim di kedai kopi yang sering dihampiri oleh Kucil dan teman-temannya dari The Celurits. Kucil memesan secangkir kopi hitam dan martabak pisang keju, sedangkan es krim vanilla dan es coklat dipesan Harap.

Kucil sudah bilang ketika Harap pulang nanti maka ia akan sakit perut. Malam ini lumayan dingin. Namun Harap keras kepala. Kali ini Kucil maklum. Bukan maklum karena Harap keras kepala, melainkan ia tidak ingin Harap kesal dan itu akan membuat Kucil sedih. Baru kali ini Harap bersikap sangat kekanakan. Atau mungkin, baru memunculkan sifat kekanakannya.

“Solusi terbaik untuk menjawab kebingunganmu,” Kucil menyeruput kembali kopinya lalu meletakkan cangkir berwarna coklat itu dengan hati-hati. “Jangan lupa, oke? Aku ulangi ya, karena sepertinya kau akan melupakan ini. Ketika kau bangun tidur, kau mimpi apa, maka tuliskan lah di buku yang besok akan kita beli.”

“Kau konyol! Aku pikir kau bercanda!” Harap meletakkan mangkuk es krimnya agak keras di atas meja persegi berwarna kuning gading. Sama sekali tidak hati-hati, sama seperti perkataannya.

Kucil tertawa kecil, “Ya, lebih konyol kau, Harap. Kau pergi ke tempat yang ternyata itu hanya mimpimu. Bisa-bisanya kau bicara bahwa itu terjadi di umurmu lima tahun. Kau konyol!”

“Hah?” sepertinya Harap tersinggung. “Kau mimpi bisa terbang saja bangga! Saat SD aku sudah mengalami mimpi itu!”

Kucil melotot, “Kau mengejekku, Harap! Aku, aku pernah, mimpi mmm.. mimpi.. aaaaaaaa aku grogi! Kau membuatku grogi! Aku jadi lupa semua mimpi-mimpiku!”

Harap tertawa menang. Kucil menenggak kopinya, tidak lagi menyeruput. “Sekarang kopiku habis. Gara-gara kau kopiku habis!”

Harap menggeser gelas es coklatnya ke hadapan Kucil, “Sekali-kali kau boleh lho minum es di udara dingin seperti ini.”

Kucil menyeringai kecil, “He, memangnya kau mau cebokin aku sepanjang malam, hah?”

Harap tertawa senang. Senang sekali. Hingga membuat Kucil ikut tertawa kecil sambil melihat Harap dengan tatapan yang serius.

“Gitu dong tertawa lagi..” Kucil tersenyum sangat manis.

Harap berhenti tertawa, “Kucil, senyummu manis sekali! Seperti temanmu yang waktu itu berkunjung ke rumah.”

“Hah?” Kucil mengernyitkan dahi. “Maksudmu Bangsa?”

“Ya, Bangsa. Nama yang bagus.”

“Ya, bagus. Entah mengapa orangtuaku menamai Kucil padaku..”

“Kau harus mensyukurinya, Kucil..”

“Ya, aku mensyukuri. Karena mungkin kalau namaku Bangsa, aku tidak akan bertemu denganmu.”

“Tapi nyatanya aku pernah bertemu dengan Bangsa,” Harap menancapkan garpu di potongan martabak pisang keju dari piring Kucil lalu melahapnya.

“Tapi kau tidak hidup dengan Bangsa, kan?” Kucil menyeruput kopinya yang sudah habis. Akhirnya ia minum es coklat Harap.

“Kau tidak tak—” Harap mesam-mesem hingga kesulitan menelan potongan martabak yang sedang dikunyahnya, “kau tidak takut sakit perut?”

“Aku lebih takut kau hidup dengan Bangsa.”

Harap tersedak.




--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
All rights reserved.
2013 © Aulia Vidyarini