Aku menginginkan hujan sebagaimana kamu bersorak untuk matahari tetap bersinar Aku berdoa disaat hujan sebagaimana kamu mabuk hingga basah kuyup di trotoar Aku bergelinjang geli di bawah hujan sebagaimana kamu tertawa di atas api unggun Aku menampung air hujan sebagaimana kamu membanjur rumah dengan minyak tanah Aku terpejam kehujanan sebagaimana kamu tidur berkeringat Aku menelan air hujan sebagaimana kamu menelan ludahmu sendiri Aku menyukai hujan sebagaimana kamu bertahan membenci hujan Aku menatap hujan sebagaimana kamu mengerti diriku Aku berbinar atas hujan sebagaimana kamu mematikan rokokmu di atas bumi yang kehujanan Aku terkejut melihat petir diantara hujan sebagaimana kamu muncul di hidupku

Kamis, 02 Oktober 2008

For you the reader!

Hehe, ayo komentari-komentari.
Mari berteman dengan saya :D
Karena makin banyak yang menertawai (tidak melecehkan) saya, makin banyak juga teman saya. Kamu juga akan bertambah banyak teman, karena saya dihitung 3 ekor hahahahaha

lets going to crazy,
au!

Tragedi Sempur saat SMA Kelas X hahahaha (Part I)


Jhahahahahahaha :D Jadi inget kejadian di lapangan sempur bareng temen-temen sekelas saya: Ucii, Syifa, Muthi, dan Occa (miss you all, AUTISO!). Inget banget kejadian pas hari Jumat, gara-gara ada pelajaran olahraga dan bawa baju olahraga. Baju itu berguna banget buat saya saat itu :D Jadi, kami pulang sekolah sore karena kami sekolah siang. Nah, saat itu juga, kami tuh gak tahu kenapa lagi pengen jalan-jalan gitu. Salah satu diantara kita ada yang usul ke lapangan sempur buat beli roti bakar (plis deh, di sekolah juga ada :P). Lalu kami dengan segera men-stop angkot 06. Gak ada kejadian apa-apa di angkot, hanya babaceoan anak baru puber :D
Sampai disana, untung beneran ada, langsung pesan. Baru sebagian yang jadi, terlihat disana ada sesosok orgil yang terlihat terpesona dengan kami. Damn! Kami yang sedari tadi sedang asyik pemotretan, ouch, langsung mematung bo!
"Eh eh, pergi yuk pergi," ajak saya sambil menggigit roti bakar.
"Jah, elu udah dapet, gua belom com!" ujar siapa lupa :P
"Bang bang, cepetan, bang! Ada orgil tuh!."
"Itu mah udah biasa disini, neng."
"Jiiiaaah ~" Si abang ternyata minta di bakar. Akhirnya kami menunggu dengan resah (lebay lagi trendi), sedangkan si orgil terus-menerus melihat ke kami sambil nyengir-nyengir gak jelas. Kami ga sadar kalau jarak kami dengan si abang agak menjauh, padahal roti tinggal setengah jadi.
"Eh, buru, eh!"
"Ituu belom jadiii.."
"Bang!"
"Nih, neng," sambil mesam-mesem si abang ngasih itu roti. Lalu salah satu dari kami membayar.
"Kemana nih?" sambil masih waspada terhadap si orgil.
"Masa' pulang?" Belum sempat menjawab, kami sudah berjalan cepat ke dekat pohon untuk bersembunyi.
"Eh, sumpah deh dia ngeliatin terus."
"Balik ga nih?"
Waaaaaaaaaaaa!! Kami berlari-lari kecil sambil mengangkat sedikit rok panjang kami agar tidak keserimpet. Jaaaahh, emang dasar orang panik, bukannya ke jalan pulang malah ke jalan yang mau muterin lapangan.
"Waaa, buru cepet buruan!"
Saya yang membawa beban paling banyak (baca: gendut), sumpah capek!
"Ah, bete, ah!"
"Gimana nih?"
"Gila. Kita mesti muter jauh ini mah! Dia ada disana, jadi kita gak bisa lewat yang deket! Anjas!"
Dalam keadaan seperti ini, tidak asyik jika tidak tertawa. Hahahahaha! Kami berjalan sambil tertawa campur ngos-ngosan.
"Motong jalan lewat tengah!"
"Iya! Tapi kalo malah jadi papasan di tengah kumaha tah? Anjiiirr!"
"Azab orang gak suka olahraga lari nih." Kami pun terbahak-bahak. Roti sudah habis, terus lari-lari, sumpah seret tenggorokan saya! Dan gak ada yang bawa minum. Hmm.. Nikmat banget gilaaa!
Akhirnya kami masih harus menempuh seperempat lapangan lagi. Dan ooh.. Ganteng banget si oom gila! Dia sudah hampir mendekati kami lagi. Anjaas!
"Eh, sumpah, gimana eh?"
"Gila!"
"Motong jalan! Motong jalan!" Si Syifa melihat ada tangga dengan kemiringan yang sangat dahsyat, "Eh, lewat sini! Rumputnya jarang, ada tatanggaan!"
Depresi setelah melihat apa yang ia tunjuk. Tangga kecil beralaskan tanah licin karena tadi siang sempat hujan. Alhamdulillah, saya beneran ga yakin bisa naekin itu tangga.
"Aduuh, kaki gua," si Muthi meringis karena kakinya sedang sakit.
"Buru, Mut! Nah kan doi dateng!"
Akhirnya dengan kepanikan yang sangat besar memuncak, kami segera bergegas melewati tangga itu. Panik gila! I love you, oom gila! Dan hanya Muthi yang terlihat diam. Saya melihat dengan nafas ngos-ngosan, Syifa sebentar lagi berada di atas lalu segera menarik tangan Ucii yang berada di urutan kedua. Saya langsung lanjut menaiki tangga indah itu tapi ah licin dan ouh! Saya langsung reflek menarik rok si Ucii.
"Aah, siapa yang narik rok gua? Siapa yang narik rok gua?" nada panik yang tertangkap oleh telinga saya (hampura, Ucii! :D) Occa yang berada di samping saya ikut membantu dan Muthi yang berada di belakang saya ikut mendorong pantat saya agar ke atas.
"Duluan aja, Ca, duluan!"
Akhirnya Occa lanjut dan saya kembali naik lalu sambil menggenggam rumput pendek di sekitar tapi malah tercabut dan aaaaaaaaaaaa!! Saya merosot dari atas dengan keadaaan tengkurap dan Muthi kembali menahan pantat saya tapi tetap saja saya menjadi superman merosot, karena posisi tangan saya seperti mau terbang tapi jadinya merosot.
"Au! Au Au!" mereka yang sudah di atas bersahutan melihat saya yang dengan sempurnanya merosot. Saya menoleh ke belakang, si oom hanya berdiri mematung dan sepertinya sedang berpikir: sebenarnya siapa sih yang gila? Anjirrr! Dia langsung pergi gitu aja melihat kami yang panik, capek, campur geli karena saya yang merosot! Setelah ia pergi, si Muthi dengan tenangnya bertanya, "Kalian ngapain sih?"
"Ah, lu mah emang karena kaki lu lagi sakit! Kalo kaga mah, wuusss lari lu kan cepet!" Kami kembali tertawa geli. Mereka yang sudah sampai atas, sudah kembali lagi. Wah, baju seragam putih saya kotor!
"Ah, gimana nih?" tanya saya sambil mengelap air mata karena tawa yang tidak henti-henti.
"Au, lu ngapain?" lalu kembali tertawa. Hahahahahahahahahahahahahaha!! It's a big laugh, men! :D
"Sial! Kotor gini!"
"Jah doi pergi! Tai."
"Lagian juga, semangat banget! Hahahahahaha!" Muthi kembali dengan kalimatnya yang sok cool (gaye lu, Mut :D).
Hari yang melelahkan skalski men! Udah olahraga di sekolah, di luar sekolah juga olahraga, gurunya orgil! Hahahahahaha! Kami akhirnya berjalan, dan sumpah deh saya masih bingung parah dengan baju saya yang kotor parah ini!
"Duh, gimana tuh, U?"
"Siaaaaal!"
"Lagian pake atraksi segala! Hahahaha!"
"Eh, btw, siapa tadi yang narik rok gua? Orgil itu bukan?" wajah Ucii panik tante-tante.
(to be continued)


*Keterangan Foto:

-Maaf, hanya kaki-kaki kami saja eheheheheeh :P
-Dari yang paling bawah lalu searah jarum jam: Syifa, Muthi, Occa, Au (saya), dan Ucii.
-Lokasinya di teras rumah Syifa.
-Diambil dan diedit oleh Au (saya sendiri) ehehehehehehhehe lagi :D

Rabu, 01 Oktober 2008

Tugas praktek cerpen waktu SMA kelas XII: Tas Merah Berwarna Hitam

Satu minggu telah berlalu, tas merah itu tetap membisu tak berubah posisinya sedikitpun. Debu mulai betah singgah di permukaan tas berbahan kulit kerbau itu. Tak seorang pun berani menyentuhnya apalagi membukanya. Bahkan, bangku baris ketiga tempat tas itu berada dibiarkan kosong, tak satu pun siswa kelas XII IPS 2 yang berani mendatanginya. Seisi kelas hanya bisa bertanya-tanya di dalam hati, kemana gerangan si pemilik tas itu. Padahal selama ini, tak pernah sedetik pun tas itu lepas dari tuannya dan tak pernah seorang pun diizinkan menyentuh apalagi melihat isi tas itu.
Semua orang di dalam kelas itu mendelik kaget bila melihat tas itu. Sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa ia seorang dimana sebuah tawa riang berasal. Selalu berseri tanpa sedu. Teman sebangkunya pergi dari meja dimana tas itu disimpan. Ia takut karena ia selalu dikelilingi kalimat-kalimat yang selalu mengitari di memori otaknya dan tak pernah ia ucapkan. Sebuah misteri baginya karena telah seminggu berlalu dan teman sebangkunya yang selalu membuat ia kesal karena si pemilik tas merah itu selalu ia anggap bodoh dan selalu tertawa. Menertawakan dirinya sendiri. Blida, sang pemilik tas merah itu.
“Kamu sama sekali tidak tahu?” tanya Wali Kelas XII IPS 2 saat ia pergi ke ruang guru untuk mengumpulkan tugas.
Seora, teman sebangku si pemilik tas merah itu hanya menggeleng lemah tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia lalu pamit kembali ke kelas dengan tergesa-gesa seperti dikejar maut. Sampai di kelas, Seora menatap tajam tas itu saat kelas kosong. Semua siswa sudah pulang sejak tadi siang. Ia dalam keheningan sore dimana tiada seorang pun di lantai atas kelas XII. Hanya sebuah tas merah yang terlihat sudah mulai usang karena ia benci dengan si pemilik tas itu yang selalu menertawai dirinya sendiri dengan bergelimang air mata.
“Siapa kamu, Blida?” Seora menggerutu dalam tegaknya ia berdiri di depan tas merah itu. Tas merah itu seakan berbicara dan Seora pun menangis dalam mata elangnya.
“Aku tidak tahu apa yang kamu rasakan dan kamu dengan seenaknya masuk ke dalam mimpi-mimpiku dengan murka!”
Angin bertiup kencang dan matahari pun mulai tenggelam.
“Hina saja diriku, Blida! Toh, kamu tetap saja di bawahku,” Seora mundur perlahan sampai jarak satu meter dari tas merah itu.
Lampu padam dan hidup kembali.
“Kamu tidak akan bisa menakut-nakutiku,” Seora tersenyum licik.
Angin kembali bertiup seperti irama lagu persaingan. Gerimis kencang membuat bibir Seora bergetar.
“Sekali lagi aku katakan padamu bahwa aku tidak salah. Kamulah yang bodoh, memendam perasaanmu sendiri di dalam hatimu. Dan kamu sekarang ingin mencoba menggertakku dengan tas yang kuberikan saat ulang tahunmu? Gila. Sekarang kamu kemana? Migrasi? Atau kamu sudah mati?” Seora tertawa bergetar, “sungguh menggemaskan hidupmu itu.”
Gerimis mulai berganti hujan. Tidak cukup chaya untuk menggambarkan wajah Seora. Ia keluar dari kelas meninggalkan tas itu dengan mata tajam penuh pisau. Menyayat.
*
Keadaan kelas berjalan seperti biasa. Seperti biasa masuk kelas dan mata langsung tertuju pada tas merah yang sudah berganti warna agak kehitaman. Agak beda dan benar-benar berbeda. Keadaan tas gendong berwarna merah itu dalam keadaan resleting terbuka. Semua siswa mengelilinginya tanpa gerakan sama sekali. Terlihat disana sebuah buku tulis biasa dan mata Seora serasa terpaku di dalam buku tulis yang familiar tersebut di matanya dan ingatan memorinya. Seora mengambil buku tulis itu tanpa pikir panjang dan tanpa menghiraukan pandangan mata teman-temannya yang tertuju kepadanya.
Seora membuka lembar pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Ia baru menyadari bahwa buku itu milik mereka berdua saat kelas sepuluh. Buku curhat mereka dan terlihat jelas perbedaan jumlah tulisan Seoran dengan tulisan Blida. Terhitung lebih banyak tulisan Seora sedangkan Blida hanya mengungkapkan ekspresi wajah dengan gambar yang Blida buat. Seora diam dan diam. Teman-temannya tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.
Seora membuka halaman terakhir yang terlihat usang dan ia terkejut setelah melihat tanggal yang tercantum, yaitu tanggal kemarin saat ia berbicara dengan tas merah yang sekarang terlihat kehitaman itu. Dan disana tertulis:
‘Aku kembalikan tas ini. Tas yang sebenarnya berwarna hitam ini. Aku tidak kuat memiliki tas pemberianmu. Dan ya, aku mati dengan menggemaskan. Aku tidak tahan menertawai diriku sendiri yang hanya bisa mendengarmu mengoceh tanpa kenal hatiku. Seora, kamu memang hebat dan kamu benar-benar hebat bisa menyakiti orang yang sudah kamu anggap sahabat saat kelas sepuluh dan kamu menelantarkanku, padahal kamu tahu aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Seora, bisa-bisanya kamu berbicara seperti kemarin saat aku sudah tiada. Seora, aku membencimu. Itu yang ingin kukatakan.’
Seora diam. Seakan ia diguncang gempa. Hatinya terguncang lebih dahsyat. Dan sepertinya, hati Blida lah yang diguncang hebat oleh Seora.
*


© 2008 Aulia Vidyarini

W E L C O M E !

Hehehehe, punya blog juga :D

Selamat datang yoo bagi yang buka blog saya.

Terima kasih :))

Semoga lanjut! Hahahahahahaha 

O iya,

-yang punya FS, add saya di aumonstar@yahoo.co.id

-yang punya FB, add saya di auweirdo_brainos@yahoo.co.id

nuhun pisan ah.

cheers,

au!