Aku menginginkan hujan sebagaimana kamu bersorak untuk matahari tetap bersinar Aku berdoa disaat hujan sebagaimana kamu mabuk hingga basah kuyup di trotoar Aku bergelinjang geli di bawah hujan sebagaimana kamu tertawa di atas api unggun Aku menampung air hujan sebagaimana kamu membanjur rumah dengan minyak tanah Aku terpejam kehujanan sebagaimana kamu tidur berkeringat Aku menelan air hujan sebagaimana kamu menelan ludahmu sendiri Aku menyukai hujan sebagaimana kamu bertahan membenci hujan Aku menatap hujan sebagaimana kamu mengerti diriku Aku berbinar atas hujan sebagaimana kamu mematikan rokokmu di atas bumi yang kehujanan Aku terkejut melihat petir diantara hujan sebagaimana kamu muncul di hidupku

Jumat, 17 Juli 2009

Tetangga Ilalang Merindu Aspal Otomatis



Tertanda kerikil menjadi kilauan asap knalpot penuh otomatis.
Selayang dianggap biasa lalu biasa layang-layang terbang tanpa arah, sebentar tegak, sesaat menikung, mungkin kamu anggap itu hanya es teh dalam balon, tak bisa terbang nyata tanpa gas, tapi segar, dan kamu tahu arti kesegaran itu apa
dalam hidupku.
Seperti kamu potongkan sebutan geli lainnya, entah apa istilahnya jika aku hanya ingin kembali doktrinisasi gurau bahasa kalbumu.
Suatu detik kamu baca andaikan, retak tulang belakang terdengar senyum dan berbisik diasah pisau daging atau roti.
Angin malam menjadi rangkaian nada sepulang not-not terselesaikan tugasnya.
Melukis aspal lalu mengisi lambung menunduk dan bertanduk.
Di halte hanya mengiringi nada es batu dentingan sedotan dan lenguhkan kesegaran tanpa barbel seberat auman hardcore.
Ucap terserah apa kamu mengartikan, aku hanya menggesekkan telpon genggam di dada lalu tidak tahu itu apa, dan lanjutan kuberikan remote control tersebut untukmu, stop atau continue, maupun game over sebuah kompetisi belaka tanpa landasan hati jembatan yang ternyata untuk sunggingan tulus curahan hati disebut tetangga ilalang bukan taman bunga matahari.
"Kostum yang sama mungkin.."

---
Bogor, sebelum tanggal 16 Juli 2009.
AV'09

Tidak ada komentar: