Aku menginginkan hujan sebagaimana kamu bersorak untuk matahari tetap bersinar Aku berdoa disaat hujan sebagaimana kamu mabuk hingga basah kuyup di trotoar Aku bergelinjang geli di bawah hujan sebagaimana kamu tertawa di atas api unggun Aku menampung air hujan sebagaimana kamu membanjur rumah dengan minyak tanah Aku terpejam kehujanan sebagaimana kamu tidur berkeringat Aku menelan air hujan sebagaimana kamu menelan ludahmu sendiri Aku menyukai hujan sebagaimana kamu bertahan membenci hujan Aku menatap hujan sebagaimana kamu mengerti diriku Aku berbinar atas hujan sebagaimana kamu mematikan rokokmu di atas bumi yang kehujanan Aku terkejut melihat petir diantara hujan sebagaimana kamu muncul di hidupku

Minggu, 25 Desember 2011

Episode: Hari Raya 22 Desember

Aku Kucil. Seharian yang lalu Harap selalu menyibukkan diri dengan segala ke-sok-sibukannya, entah mengapa terjadi demikian. Mungkin karena aku tak pernah berusaha keras untuk mencari kerja, akan tetapi Harap tak pernah marah padaku tentang hal itu, jikalau marah pun ia pasti mengaku sedang bercanda karena setelahnya ia tersenyum manis padaku. Di saat itu juga, aku baru tahu, tidak selamanya tersenyum manis berarti setuju. Ya, aku tahu, aku mengecewakannya.

Sebulan yang lalu, Harap meminta kaset kosong padaku, maka kuberikan kantong kosong. Seperti yang kuduga, ia hanya melengos dan kembali menonton televisi. Aku selalu memarahi dirinya jika menghabiskan waktu dengan cara menghindari aku. Ia hanya menoleh ke arah dimana aku tidak berdiri disana. Aku dan acara televisi menjadi tidak menarik untuk dipandang, dirinya lebih memilih melihat debu yang tertumpuk tebal dan hanya akan terlihat jika menggunakan kaca pembesar. Ok, satu jam berlalu seperti itu hingga aku akhirnya pergi ke atap.

Disana, aku berpikir. Berpikir dalam-dalam hingga aku tak menemukan apa yang terdalam. Kakiku bergetar, jelas! Itu jelas! Aku sekarang berdiri di atas atap dan tak berani melihat ke bawah, tanah terbawah! Dan harapan terakhirku adalah Harap datang di saat itu juga.

Nyatanya tidak. Harap tak muncul sesuai namanya.

Dialog terakhir yang kuingat, Harap berkata bahwa ketika aku sedang merasa dikucilkan di dunia ini, maka ia akan datang sesuai namanya untuk mengembalikan harapan hidupku. Aku tahu, ia bukan Tuhan, tentu ia tidak akan tahu dimana sekarang aku berada.

Kemudian, dialog terakhir yang tak pernah kuingat, dan akhirnya aku mengingatnya. Adalah Harap melanjutkan kalimatnya; namun aku bukan Tuhan, dimana aku akan terus menjadi yang sempurna, maka maafkan aku jika tak tepati janjiku. Aku berusaha menjadi yang terbaik, bagi diriku sendiri dan sekitarku. Apakah kau tahu, Kucil? Aku selalu ingin mati di dalam rumah yang damai, entah itu jalanan atau box telepon umum. Aku hanya ingin menjadi sederhana, aku pun ingin menjadi yang rumit. Aku ingin menjadi yang rumit hingga sangat rumit dan melihat siapa yang berusaha untuk menyederhanakan hidupku.

Kau sederhana, kau bahagia. Maka pergilah ke ruang televisi menemaniku duduk manis menertawakan dunia ini yang terekam dalam dua belas inch yang kita miliki. Suara Harap membuatku menoleh dari kegelapan yang telah kubuat sendiri, dan seperti itulah dirinya menjadikanku untuk lahir kembali dengan harapan baru.

Terimakasih, Wanita. Terimakasih untuk siapapun yang melahirkan tanggal 22 Desember.



- Anak tunggal dari ibunya Kucil.





---
Copyright 2011 Aulia Vidyarini

Untuk cerita Kucil dan Harap lainnya bisa dilihat di http://www.facebook.com/aulia.vidyarini/notes :)

Tidak ada komentar: