Aku menginginkan hujan sebagaimana kamu bersorak untuk matahari tetap bersinar Aku berdoa disaat hujan sebagaimana kamu mabuk hingga basah kuyup di trotoar Aku bergelinjang geli di bawah hujan sebagaimana kamu tertawa di atas api unggun Aku menampung air hujan sebagaimana kamu membanjur rumah dengan minyak tanah Aku terpejam kehujanan sebagaimana kamu tidur berkeringat Aku menelan air hujan sebagaimana kamu menelan ludahmu sendiri Aku menyukai hujan sebagaimana kamu bertahan membenci hujan Aku menatap hujan sebagaimana kamu mengerti diriku Aku berbinar atas hujan sebagaimana kamu mematikan rokokmu di atas bumi yang kehujanan Aku terkejut melihat petir diantara hujan sebagaimana kamu muncul di hidupku

Rabu, 10 April 2013

Episode: Bermain


“Oke, jadi ada sembilan gulungan pilihan ya, Har,” Kucil memasukkan gulungan terakhir di toples berisi dedaunan kering dan delapan gulungan kertas lainnya.

“Ya,” Harap mengangguk.

“Jadi aku duluan ya, karena aku adalah sebagai contoh,” seringai Kucil lebar.

Harap tertawa. Kucil melempar sisa gulungan kertas yang tak terpakai ke kepala Harap.

“Dilarang tertawa! Oke!!”

“Oke!!”

Mereka sangat bersemangat, padahal sore ini mereka belum makan. Memang tidak ada jadwal makan sore. Jadi, wajar saja mereka belum makan.

Kucil mulai mengaduk tangannya di dalam toples kaca lalu mengambilnya satu gulungan kertas dengan mantap, “Seorang kepala keluarga harus mantap!”

Harap menahan tawa. Wajahnya memerah.

“Harap, ingat peraturan. Tidak boleh tertawa. Hanya boleh menangis, tidak boleh tertawa,” wajah Kucil serius minta ampun.

“Isinya.. adalah..” Kucil menggantung kalimatnya sampai ia membuka tuntas gulungan kertas yang dipilih, “Sik!”

“Jangan berisik ada yang bobok!” sahut Harap lantang.

Wajah Kucil datar lesu, “Kan aku dulu, Harap.. Kan aku yang membuka gulungannya..”

Harap tersenyum dipaksa, untuk menahan tawa.

“Jangan berisik ada yang bobok!” Kucil mengulangi kalimat Harap beserta lantangnya.

Harap melotot. Kucil membuat wajah konyol.

“Abis bobok enaknya makan mie Tasik!” Harap memejamkan matanya, “Hmm, enyak-enyak-enyak.. Nanti malam makan mie Tasik ya, Cil?”

“Heh! Nanti saja itu dibahasnya!” bentak Kucil.

“Mmm.. Tasikmalaya emang asik!”

Harap menunduk. Berpikir. “Asik adalah kata yang belum tentu asik.”

“Ahahahahaha! Apaan tuh?” Kucil tertawa. “Harap kalah! 1-0! Hahahahaha!”

“Memang benar kan perkataanku?” Harap mencoba membela diri.

“Iya benar sih, tapi kan kau gunakan kata ‘asik’ lagi,” Kucil lanjut tertawa.

“Ya udah cepet!” Harap bete.

Kucil mengambil gulungannya lagi karena ia menang.

“Lang,” Kucil kaget. “Siapa sih yang membuat ini?”

“Kau kan? Aku tak merasa membuatnya. Kenapa? Ayo!” desak Harap.

“Kucil meminta maaf pada Harap karena remote televisinya hilang..” Kucil menoleh ke arah kumpulan tanaman merambat.

“Hilang semangat rasanya bila tidak jadi pulang.”

“Pulang ke mana memangnya?”

“Ahahahaha mana boleh bertanya!” Harap tertawa menang, “Satu sama! Aku menang!”

“Ya, untuk kali ini kuizinkan kau menang. Jadi, maafkan aku ya?”

“He?”

“Kalimatku tadi itu benar..” Kucil dengan cepat bersujud di depan Harap yang bengong.

“Maksudmu.. kalimat tentang remote televisi yang.. hilang?”

Kucil diam.

“Oh, Tuhan! Memangnya kali terakhir kau taruh di mana, hah?!” Harap memegang kepala Kucil untuk bangun.

Kucil tetap bersujud, “Aku lupa. Aku lupa sekali. Sangat lupa, Harap. Maafkan aku.”

“Apa lagi yang kauhilangkan, hah? Apa lagi yang kausembunyikan dariku?”

Kucil bangun namun masih tetap duduk dengan kaki terlipat di belakang pantatnya, “He, kesannya selama ini aku banyak menghilangkan barang darimu, ya? Baru remote yang kuhilangkan. Mungkin tidak hilang, tapi entah ia bersembunyi di mana aku lupa.”

“Setelah teman-temanku hilang. Remote televisiku juga hilang..” mata Harap kosong.

“Itu tidak ada hubungannya denganku!”

“Memang..”

“Sudahlah, nanti aku ganti.”

“Kautahu kan tombol televisi sudah tidak ada yang berfungsi lagi? Televisi kita tidak akan hidup!”

“Ya.. besok kita beli remote-nya, oke?”

“Sore ini! Ada serial favoritku tayang di televisi malam ini, Kucil!”

“Katanya malam ini mau beli mie Tasik?”

“Tidak. Tidak jadi.”

“Oke, sore ini juga kita pergi ke toko elektronik ya, habis itu ke minimarket.”

“Mau apa kau ke minimarket, hah?”

“Memangnya ada pembalut di toko elektronik, hah?!” Kucil berdiri menuju kamarnya untuk ganti baju. “Dasar wanita! Rubah sana! Rubah sini! Mentalku dipermainkan terus di tiap bulannya!”

Harap bengong menatap kosong pintu kamar Kucil yang telah tertutup, “Dari mana dia tahu kalau aku sedang menstruasi?”



---
All rights reserved.
2013 © Aulia Vidyarini

Tidak ada komentar: