Aku menginginkan hujan sebagaimana kamu bersorak untuk matahari tetap bersinar Aku berdoa disaat hujan sebagaimana kamu mabuk hingga basah kuyup di trotoar Aku bergelinjang geli di bawah hujan sebagaimana kamu tertawa di atas api unggun Aku menampung air hujan sebagaimana kamu membanjur rumah dengan minyak tanah Aku terpejam kehujanan sebagaimana kamu tidur berkeringat Aku menelan air hujan sebagaimana kamu menelan ludahmu sendiri Aku menyukai hujan sebagaimana kamu bertahan membenci hujan Aku menatap hujan sebagaimana kamu mengerti diriku Aku berbinar atas hujan sebagaimana kamu mematikan rokokmu di atas bumi yang kehujanan Aku terkejut melihat petir diantara hujan sebagaimana kamu muncul di hidupku

Minggu, 07 April 2013

Episode: Nonton Bioskop di Tengah Hujan


“Kau tahu tidak, Har, bioskop ini khusus dibuat untuk kita,” Kucil mengunyah jagung bakar yang telah menyatu dengan saus asam manis.

Harap sibuk melihat ke depan dengan mata yang terbuka lebar tanpa menghiraukan ucapan Kucil.

“Dan kau tahu tidak, baru kali ini aku nonton di bioskop dengan suara hujan yang bocor. Payah. Temboknya tidak kedap suara,” Kucil meraba meja di sampingnya, mencari gelas besarnya yang berisi air putih. “Baru kali ini aku ingin tidur di bioskop. Untung ada jagung bakar.”

Harap sepertinya tertidur.

Kucil mencari telinga Harap, “Dasar orang kaya! Di bioskop malah tidur!”

Harap sama sekali tidak marah. Ia benar-benar tertidur.

Ada orang yang baru masuk ke bioskop.

“Har, kayaknya bioskop ini tidak jadi khusus dibuat untuk kita. Ada yang masuk lagi selain kita,” Kucil menyalakan senter yang dikalungkan di lehernya. Ia menyorot penonton yang baru masuk.

“Kau lama sekali, Har! Memangnya beli lilin di mana sih?!”

“Semuanya habis, Kucil,” Harap mengunci pintu depan rumah.

Kucil menyenteri kaki Harap menuju langkahnya ke arah kursi yang ia duduki.

“Kau mau jagung bakar?”

Harap merebut dengan pelan senter yang dipegang Kucil, “Oh, Tuhan.. Mainan Manggani mana lagi yang kausembunyikan darinya, hah?”

Kucil mengambil kembali senternya dengan cepat, “Sssssttt! Jangan berisik, Harap! Nanti kau mengganggu Harap yang sedang nonton!” Kucil menerangi Harap yang berada di kursi sebelahnya, lalu ke arah yang masih berdiri di depannya.

Harap tidak bisa menahan tawa, “Besok kau harus mengembalikan boneka dan jagung-jagungan Manggani.”

Kucil tertawa, “Aku tidak menyembunyikannya, Har. Manggani yang sengaja meninggalkannya di sini.”

“Sengaja?” Harap mencoba mengambil boneka itu dan duduk menggantikannya.

“Waktu kau pergi sangat lama. Manggani membawa boneka itu ke sini dan tak pernah membawanya pulang lagi,” Kucil menaikkan kakinya ke atas kursi. “Hahaha, mungkin agar aku tidak kesepian.”

“Dan tidak kelaparan dengan membawa jagung-jagungan untukmu?”

Kucil tertawa lepas, “Ya! Ada apel-apelan juga di kulkas.”

Harap pun ikut tertawa, “Sial. Waktu itu aku hampir tertipu mau memakan apel itu.” Harap duduk menyandar kursi kelelahan karena mencari lilin di warung-warung yang ternyata sudah diborong oleh orang-orang.

Harap menghela nafas, “Lalu sekarang kita ada di mana?”

“Di bioskop,” Kucil makin erat merengkuh dengkul sampai kakinya yang ia naikkan ke atas kursi. “Tapi kau boleh tidur kok, bioskop ini gratis. Dan juga dingin. AC-nya kencang sekali.”

“Bawalah selimut. Kurasa hujannya akan awet sampai dini hari.”

“Mana ada orang nonton bioskop sambil bawa-bawa selimut!”

Harap tersenyum yang tidak akan terlihat oleh Kucil, “Jangan berlebihan. Aku tidak mau melihat demam-mu masih ada saat listrik sudah menyala lagi.”


---
All rights reserved.
2013 © Aulia Vidyarini

Tidak ada komentar: