Aku menginginkan hujan sebagaimana kamu bersorak untuk matahari tetap bersinar Aku berdoa disaat hujan sebagaimana kamu mabuk hingga basah kuyup di trotoar Aku bergelinjang geli di bawah hujan sebagaimana kamu tertawa di atas api unggun Aku menampung air hujan sebagaimana kamu membanjur rumah dengan minyak tanah Aku terpejam kehujanan sebagaimana kamu tidur berkeringat Aku menelan air hujan sebagaimana kamu menelan ludahmu sendiri Aku menyukai hujan sebagaimana kamu bertahan membenci hujan Aku menatap hujan sebagaimana kamu mengerti diriku Aku berbinar atas hujan sebagaimana kamu mematikan rokokmu di atas bumi yang kehujanan Aku terkejut melihat petir diantara hujan sebagaimana kamu muncul di hidupku

Minggu, 07 April 2013

Aulia dan Orang-orang dan Lain-lain, 7

KATA HILANG.

Hai hai.. Hehehe, saya meninggalkan empat hari tidak posting. Jadi, kenapa sub judulnya tentang kehilangan gitu? Oke, saya sudah lama tidak buka Twitter. Lupa juga kalau ada makhluk dari keluarga media sosial bernama Twitter. Nggak begitu lupa sih, saya masih pakai tapi via handphone. Jadi lupa kalau Twitter itu bisa dibuka via PC. Hahahaha

Di sana saya buka menu Connect dan berisikan mentions, retweet, dan favourite. Saya baru lihat, ternyata ada banyak yang menyukainya. Entah karena setuju atau tidak sengaja menekan tombol retweet. Mehehehe. Emang banyaknya seberapa sih? Empat doang sih. Bahahaha eh, nggak ding. Nambah tiga di Facebook. Bahahaa sumpah nggak penting. Yaa, siapa yang nggak senang sih ya kalau pemikirannya direspon dengan baik :3 Miaw.

Kalimatnya itu tadinya berbunyi 'Rindu adalah rasa terbaik dari kata hilang' tapi saya ubah menjadi ada penambahan kata '(Mungkin)' di awal kalimat. Karena saya takut salah, pengalaman orang-orang kan berbeda-beda.

Kemudian saya menemukan di komentar postingan saya di Facebook hari ini, mmm nggak perlu dideskripsikan lah ya. Intinya saya mengutip kalimat dari seorang bijak tentang hidup yang menggunakan perumpaan. Memang sih perumpamaannya sederhana, tapi kalau ditelaah secara mendalam dan dikaitkan dengan kehidupan maka kalimat itu sangat bermakna. Buat saya waktu itu. Itu sangat bermakna sampai sekarang. Untuk mensyukuri segala sesuatu yang masih kita miliki. Walaupun tidak berjalan sesuai yang kita inginkan, atau tidak menghasilkan apapun yang telah kita usahakan. Di balik itu saya berpikir kembali, mungkin ini waktunya kita berhenti. Ada kalanya kita harus berhenti.

Namun, penalaran pasti kembali ke masing-masing kepala. Bagaimana cara kepala itu menghubungkan dengan kehidupannya yang telah terjadi. Mendapatkan korelasi dengan cara yang baik. Entah kenapa saat itu dada saya terasa sakit, seperti sesak, ketika si lawan bicara saya di komentar itu seperti merumitkan segala sesuatu. Saya mengakui bahwa hidup itu rumit. Hanya saja, ya Allah, saya sudah mulai masuk dalam jalan pikiran yang lebih santai. Maka dari itu, saya hanya bisa mengiyakan saja pendapatnya dengan cara lain. Karena saya juga tidak kenal orangnya. Dan untungnya percakapan itu selesai dengan kesimpulan masing-masing di kepala yang tidak ditumpahkan di sana.

Di sana saya seperti merasa hidup saya yang tahun-tahun kemarin sangat rumit menjadi muncul kembali. Saat itu saya dengan lawan bicara tersebut saya seperti telah merasakan apa yang ia katakan. Seperti de javu.

Sudah terlalu banyak waktu yang saya forsir untuk hal-hal rumit semacam itu. Hal-hal sederhana yang kian rumit. Memang, jalan pikiran pasti akan berada pada satu titik yang secara tidak langsung mengatakan latar belakang hidupnya. Mungkin ia sedang dilanda masalah atau apa saya tidak tahu. Dan saya pun tidak mau tahu. Ya, sudah terlalu banyak waktu yang saya forsir untuk orang yang tidak mengerti bagaimana dirinya sendiri.

Saya sudah kehilangan pola pikir rumit saya. Mungkin otak saya sekarang sudah menciut karena terlalu banyak menganggap penting segala hal yang tidak terlalu penting. Dan sekarang saya pelupa. Dulu saya dipercaya mengingatkan apapun oleh seseorang teman saya yang pelupa, tapi sekarang saya tidak yakin untuk itu. Saya lumayan benci dengan orang yang pelupa. Mengapa begitu mudah melupakan sesuatu? Sedangkan saya mengingatnya sepanjang waktu. Yah, mungkin ini karma.

Lalu kalau sudah menjadi seorang pelupa seperti ini apakah saya harus merumitkan segala hal yang saya lupakan? Nggak, demi apapun saya sudah tidak butuh itu, saya hanya butuh orang yang sederhana, jalan yang lebih sederhana, menghela nafas yang sangat melegakan. Ya, saya hanya butuh itu selain jalan Tuhan.

Sekarang saya hanya akan menjalani semua hal yang dulu saya takuti. Bermimpi.

Bermimpi tentang saya bisa menjadi orang yang sederhana. Kembali memiliki tata krama dalam menjalani hidup. Saya hanya ingin menjadi orang yang baik. Saya sudah kehilangan kesempatan untuk menjadi orang yang berguna. Membanggakan. Saya sudah kehilangan itu. Dan semua itu akan muncul kembali jika saya bermimpi. Bermimpi dan berusaha menjadi orang baik. Seperti langit yang biru. Menenangkan..

Sudah tidak ada waktu lagi untuk melakukan rekap tentang saya kehilangan apa saja. Sekarang hanya ada waktu untuk mensyukuri saya masih memiliki keluarga dan teman-teman baik. Dan waktu untuk berusaha melakukan yang terbaik. Selagi bisa. Ya, sudah tidak ada waktu untuk membeli bergulung-gulung tisu untuk menahan air yang jatuh dari mata. Yah... walaupun menangis itu berguna ketika tidak ada lagi yang bisa kita lakukan untuk melegakan segalanya. Pria, cobalah itu sesekali. Haha

Ketika merasa terlalu banyak kehilangan dalam satuan waktu yang sangat cepat, apalagi yang harus saya lakukan selain cepat-cepat mengambil hikmah dari itu semua? Ya, saya mengambil hikmahnya dan benar-benar merasakan, ada kalanya manusia harus berhenti.

Beberapa teman saya pun mengalami itu. Ada yang kehilangan orang yang disayangi, dipercaya. Ada pun yang kehilangan predikat pengganggurannya. Ya, teman saya diterima kerja di ibukota. Saya terharu sekali. Allah memberikan macam-macam pembelajaran lewat orang-orang di sekitar saya. Dan saya bisa siap lebih dari yang saya kira.

Akan tetapi, memang tidak bisa dipungkiri, pola pikir sudah tidak seperti dulu lagi. Banyak yang berubah. Banyak yang berlari, berjalan, ataupun berdiam diri. Dan saya harus memilih. Kami harus memilih. Dan kita pun.

Yah, segitu aja dulu deh. Mata saya sudah membawa ke kanan, ke kiri, kanan lagi, malah jadi ke atas bawah, muter-muter. Sudah kehilangan fokus. Maklum mata saya minus. Hehehe

Oh, ya, ini bukan artikel loh ya. Ini curhat. Saya sadar saya perlu curhat. Tapi kalau curhat ke teman, malahan nggak akan bisa. Mungkin karena tatap-tatapan dan malah jadi mengeluh. Jadi malu. Hoho. Dan supaya saya punya timeline juga. You know kan, saya sudah kehilangan ingatan.

Oke deh. Saya tersenyum. Dan harus tersenyum. Selamat mencari hikmah.

- Aulia

Tidak ada komentar: